Ilmu Falak

Jumat, 16 Desember 20110 komentar

Ilmu Falak adalah ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit-khususnya bumi, bulan, dan matahari-pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit antara satu dengan lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi.
Ilmu Falak disebut juga ilmu hisab, karena ilmu ini menggunakan perhitungan ( الحساب =perhitungan). Ilmu Falak disebut juga ilmu rashd, karena ilmu ini memerlukan pengamatan ( الرصد =pengamatan). Ilmu Falak disebut juga ilmu miqat, karena ilmu ini mempelajari tentang batas-batas waktu ( الميقات =batas-batas waktu). Ilmu Falak disebut juga ilmu haiah, karena ilmu ini mempelajari keadaan benda-benda langit ( الهيئة = keadaan).
Ilmu Falak pada garis besarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu Falak Ilmiy, dan ilmu Falak Amaliy. Ilmu Falak Ilmiy disebut juga Theoritical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy disebut juga Practical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai ilmu Falak atau Ilmu Hisab. Bahasan Ilmu Falak yang dipelajari dalam Islam adalah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, sehingga pada umumnya ilmu Falak ini mempelajari 4 bidang, yakni:
  • Arah Kiblat
  • Waktu-waktu Salat
  • Awal bulan
  • Gerhana
Sejarah Singkat Ilmu Falak
lmu falak, merupakan ilmu yang sudah tua, yang dikenal oleh manusia, bangsa-bangsa mesir, mesopotamia, babilonia dan tiongkok, sejab abad ke-20 sebelum masehi telah mengenal dan mempelajari ilmu falak ini. yang dikenal dengan ilmu perbintangan.

menurut suatu riwayat, pembagian sepeken (seminggu) atas tujuh hari, adanya sejak lebih dari 5000 tahun yang lalu, kemudian, hari-hari yang tujuh itu, untuk tidak mengelirukan, lalu diberinyalah nama-nama benda langit yang mereka telah kenal, yakni :
  • Matahari untuk hari Ahad
  • Bulan untuk hari Senin
  • Mars untuk hari Selasa
  • Mercurius untuk hari Rabu
  • Jupiter untuk hari Kamis
  • Venus untuk hari jum’at, dan
  • Saturnus untuk hari Sabtu
kemudian sekitar abad ke-12 SM, di negeri Tiongkok, ilmu falak telah banyak mengalami kemajuan-kemajuan. mereka telah mampu menghitung kapan akan terjadinya gerhana, serta menghitung peredaan bintang-bintang.

sekitar abad ke-4 SM, di negeri Yunani yang sementara beada di zaman keemasannya ilmu pengetahuan, ilmu falak telah mendapat kedudukan yang sangat penting dan luas.

Pada abab ke-2 Masehi, seorang ahli bintang di Iskandaria (mesir) keturunan bangsa Yunani, yang bernama CLAUDIUS PTOLOMEAUS (90-168 M.) telah berhasil menghimpun pengetahuan tentang bintang-bintang dalam suatu naskah yang disebut TABRIL MAGESTHI. Naskah ini kemudian terserah keseluruh dunia dan dijadikan dasar sebagai pedoman ilmu perbintangan selanjutnya. Kemudian, sekitar tahun 325 Masehi, naskah itu diperluas oleh THEODOSEUS KEIZER di Roma dan pada abad ke-9, naskah itu telah disalin orang ke dalam bahasa arab. CLAUDIUS PTOLOMEUS ini, selain ahli bintang, juga ahli geografi, yang dalam catatatannya telah mencantumkan nama Jawa dan Tapanuli, sebagai tempat yang telah dikenal pada waktu itu.
Dia berpendapat, bahwa bumi tidak bergerak dan bumi dikelilingi oleh falkanya bulan, matahari dan planet-planet lainnya.

Pada abad ke-8 Masehi, pada masa pemerintahan Khalifah Al Mansur (754-775), khalifah dari bani Umayyah, telah didirikan sekolah astronomi di kota Baghdad. Khalifah sendiri termasuk, termasuk salah seorang ahli astronomi. Di bawah pemerintahan pengganti-penggantinya, Harun Al Rasyid dan Al Ma’mun sekolah itu menghasilkan karya-karya penting, theori-theori kuno diperbaharui, beberapa kesalahan PTOLOMEUS di perbaiki. Hasil observasi yang dilakukan oleh sekolah di baghdad telah dicatat dalam tabel yang diperiksa dengan teliti. YAHYA BIN MANSHUR dianggap sebagai orang yang penting dalam pekerjaan ini.
Hukum Mempelajari Ilmu Falak
Betapa besar faedah dalam mempelajari ilmu falak, sehingga apabila dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah, maka mempelajari ilmu falak atau ilmu hisab hukumnya wajib, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Husain :

“mempelajari ilmu falak itu wajib, bahkan diperintahakn untuk mempelajarinya; karena ilmu falak itu mencakup pengetahuan tentang kiblat danhal-hal yang berhubungan dengan penanggalan, misalnya puasa, leibh-lebih pada masa sekarang ini, karena ketidaktahuannya para hakim (akan ilmu falak), sikap mempermudah, serta kecerobahan mreka , sehingga mereka menerima kesaksian (hilal) seseroang yang mustinya tidak dapat diteriman”

kemudian para ulama lainnya seperti : Ibn Hajar dan ar-Ramli berkata bahwa bagi orang yang hidup dalam kesendirina maka mempelajari ilmu falak itu fardlu ‘ain baginya. sedangkan bagi masyarakat banyak hukumnya fardhu kifayah..
Sumbangsih Ilmu Falak dalam Islam
Ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tata lintas pergerakan benda-benda angkasa khususnya Bulan dan Matahari dalam orbitnya secara sistematis dan ilmiah demi kepentingan manusia. Ilmu ini terhitung sebagai cabang ilmu pengetahuan tertua dan langka, sebab ilmu ini ada semenjak jagad raya ini terbentuk. Kata ‘falak’ pluralnya ‘aflâk’ (dalam bahasa Arab) bermakna orbit atau edar benda-benda angkasa (al-madâr yasbah fîhi al-jirm as-samâwî). Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam “Muqaddimah”nya mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang berhamburan. Makna yang hampir sama juga dikemukakan al-Khawarizmi (w. 387 H) dalam ‘Mafatih al-‘Ulmu’nya.
Ilmu falak sebagai ilmu yang mempelajari benda-benda angkasa selalu dibutuhkan oleh manusia. Dari penelaahan berbagai benda-benda angkasa ini manusia dapat mengetahui dan memanfaatkan banyak hal. Ilmu ini selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan selalu dibicarakan orang disetiap waktu dan zaman. Hal demikian mengingat betapa penting dan menariknya ilmu ini. Mengamati langit, yang merupakan kegiatan utama ilmu falak (astronomi) adalah aktifitas pengamatan benda-benda angkasa alamiah ciptaan Allah Swt. yang selalu berubah dan bergerak serta menawarkan berbagai tantangan bagi para pengamatnya. Dulu, dan hingga kini, langit atau angkasa merupakan obyek wisata yang menarik dan banyak digemari manusia.
Subyek pembahasan utama ilmu falak dalam Islam (falak syar’î) adalah Bulan dan Matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti waktu shalat, puasa dan kiblat diperkuat pula dengan berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Pembahasan falak syar’î secara garis besar meliputi: [1.] Penetapan awal-awal bulan Qamariyah. [2.] Penetapan waktu shalat. [3.] Penentuan arah dan bayang kiblat. [4.] Penentuan terjadinya gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan.
Menentukan awal bulan, khususnya menetapkan puasa & hari raya, didalam Islam adalah berdasarkan sistem bulan (qamarî) yaitu peredaran bulan mengelilingi Bumi dalam porosnya yang dalam aplikasi bulanannya ditetapkan dengan berganti-ganti antara 30 dan 29 hari. Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi Saw; “… as syahru hakadzâ wa hakadzâ wa hakadzâ” (… bulan itu adakalanya begini dan begini (adakalanya 30 hari dan adakalanya 29 hari) [HR. Muslim]. Khusus dalam menetapkan awal puasa dan hari raya, Rasulullah Saw. menyatakan untuk melihat hilal (rukyat). Nabi Saw. menegaskan: “shumû liru’yatihi wa afthirû liru’yatihi…” (puasalah kamu karena melihat hilal, dan berbuka (berhari raya) lah karena melihat hilal) [HR. Muslim]. Dengan berbagai data, fakta dan perdebatan, perintah melihat yang disabdakan baginda Nabi Saw. tersebut berganti dan dapat dipahami dengan melihat secara rasional (hisab). Melalui pemahaman yang baik terhadap pergerakan fenomena Bulan dan Matahari, hadits-hadits tersebut terpahami dan teraplikasikan secara teoritis matematis tanpa perlu rukyat secara faktual (ru’yah bashariyah), namun perdebatan dalam masalah ini senantiasa ramai dibicarakan di Indonesia maupun di negara-negara muslim lainnya.
Sementara itu, waktu shalat didalam Islam ditetapkan berdasarkan fenomena alamiah Matahari, seperti terangkum dalam makna ayat “aqimish shalah liduluk as syams…” (Dirikanlah shalat dari sesudah Matahari tergelincir…) (QS. Al-Isra’ : 78), serta sabda panjang Nabi Saw. terkait teknis pelaksanaan waktu shalat fardhu yang lima yang dikaitkan dengan fenomena Matahari (HR. Muslim) Rumitnya, baik nash al-Qur’an maupun al-Hadits tidak memuat rincian pasti tentang penentuan waktu-waktu tersebut, yang pasti hanyalah “kitâban mawqûta” (waktu yang sudah ditentukan), tidak ada kepastian tata cara yang akan digunakan. Namun indahnya, ilmu falak mampu menyelesaikan ‘ketidak rincian nash’ tersebut melalui berbagai pengamatan dan penelaahan teks dan konteks fenomena Matahari. Dalam kenyataannya, secara umum masyarakat telah sepakat menerima data hisab penentuan kapan seorang muadzin akan mengumandangkan adzan atau kapan seorang muslim akan shalat tanpa ada perdebatan berarti, meski berbagai persoalan tetap menyelip dalam data hisab waktu-waktu shalat, seperti halnya dalam menetapkan awal waktu puasa dan hari raya.
Dan menuju arah kiblat adalah satu keharusan (syarat) didalam shalat, shalat dinyatakan tidak sah jika tidak menghadap ka’bah, karena menghadapnya adalah kemestian untuk sah dan berkualitasnya shalat seorang muslim. Al-Qur’an hanya menyatakan “wa min haytsu kharajta fa walli wajhaka syathral masjidil haram wa haytsu ma kuntum fa wallu wujuhaum syathrah” (Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dari mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya) (QS. Al-Baqarah: 150) tanpa ada penjelasan rinci tentang menghadap yang dimaksud. Dimaklumi, bagi penduduk Mekah dan sekitarnya, menghadap dan mengarah Ka’bah dapat diusahakan meski secara alamiah dengan serta merta menghadap, dan ini masih dalam koridor ‘zhan’ yang dilegalkan. Berpaling kurang beberapa derajat dari bangunan ka’bah dapat ditolerir karena masih dalam teritorial kota Mekah. Namun bagaimana halnya jika berada jauh dari Ka’bah atau kota Mekah, Indonesia misalnya? Serta merta atau asal menghadap tidaklah dibenarkan, meski dilandasi dengan ‘zhan’ namun tetap saja tidak realistis, karena ‘zhan’ dalam syariat akan selalu bersesuaian dengan realitas empirik (mashlahat-waqi’iyat). Dalam konteks Indonesia, berpaling beberapa derajat dari bangunan Ka’bah akan berpaling jauh dari bangunan Ka’bah bahkan kota Mekah. Ini tentunya tidak realistis, dan tidak bisa disebut zhan. Untuk mengatasi hal ini, fikih an sich tidak memadai, ilmu falak berperan memersiskan atau setidak-tidaknya meminimalisir perpalingan arah yang begitu mencolok tersebut. Dan dalam penentuan arah kiblat inipun masyarakat dapat menerima tanpa perdebatan, seoarang mushallî (orang yang akan menunaikan shalat) merasa ithmi’nan (tenang) dengan arah sajadah yang terhampar di mushallâ atau mesjid tanpa ambil pusing tepat atau melesetkah arah sajadah tersebut. Padahal banyak mushallâ dan mesjid yang kadang serampangan menentukan arah kiblat. Ilmu falak lagi-lagi berperan dalam menetapkan arah kiblat ini.
Adapun gerhana (baik gerhana Matahari maupun gerhana Bulan) sebagai fenomena alamiah ‘luar biasa’ yang dapat disaksikan dengan mata, meski jarang dan tidak semua orang dapat menyaksikan dan tidak disemua tempat dapat disaksikan. Shalat gerhana, dalam fikih Islam adalah ibadah anjuran yang sangat dianjurkan (sunnah mu’akadah). Namun, kapan shalat itu dilakukan ? fenomena alamiah ini jarang terjadi, pula tidak banyak manusia yang perhatian terhadap fenomena ini, hingga terkadang ia dilupakan atau terlupakan. Namu, ilmu falak, selalu dan senantiasa dapat mengingatkan dan mendeteksi fenomena ini, kapan dan dimana peristiwa alamiah ini akan terjadi. Hingga dari peranan ilmu ini (baca: ilmu falak) seorang muslim dapat menunaikan anjuran yang sangat dianjurkan tersebut dengan yakin dan nyaman.
Dari abstraksi diatas jelas bahwa peranan ilmu falak sangatlah nyata dan signifikan. Artikel ini hanyalah ‘pengantar’, paling tidak pengantar bahwa ilmu falak berguna dan berperan dalam ibadah utama umat Islam. Betapapun lihai dan piawainya seorang muslim memahami teks nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, namun jika tidak memahami konteks (aplikasi) nash tersebut, nash-nash tersebut tetaplah ‘tidak tanggap’. Penulis bertesis “fikih tidak sempurna tanpa peranan ilmu falak”. Wallahu a’lam.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Wonganjuk | Asli
Copyright © 2016. Wonganjuk Belajar Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Wonganjuk
Proudly powered by Blogger